Senin, 13 Desember 2010













JATILAN

Jatilan adalah sebuah kesenian yang menyatukan antara unsur gerakan tari dengan magis. Jenis kesenian ini dimainkan dengan properti berupa kuda tiruan, yang terbuat dari anyaman bambu atau kepang. Kesenian yang juga sering disebut dengan nama jaran kepang ini dapat dijumpai di daerah-daerah Jawa.
Mengenai asal-usul atau awal mula dari kesenian jatilan ini, tidak ada catatan sejarah yang dapat menjelaskan dengan rinci, hanya cerita-cerita verbal yang berkembang dari satu generasi kegenerasi lain. Dalam hal ini, ada beberapa versi tentang asal-usul atau awal mula adanya kesenian jatilan ini, diantaranya adalah sebagai berikut. Konon, jatilan ini yang menggunakan properti berupa kuda tiruan yang terbuat dari bambu ini merupakan bentuk apresiasi dan dukungan rakyat jelata terhadap pasukan berkuda Pangeran Diponegoro dalam menghadapi penjajah Belanda. Selain itu, ada versi lain yang menyebutkan, bahwa jatilan menggambarkan kisah perjuangan Raden Patah, yang dibantu oleh Sunan Kalijaga, melawan penjajah Belanda. Adapun versi lain menyebutkan bahwa tarian ini mengisahkan tentang latihan perang pasukan Mataram yang dipimpin Sultan Hamengku Buwono I, raja Mataram untuk mengadapi pasukan Belanda.
Pagelaran kesenian ini dimulai dengan tari-tarian oleh para penari yang gerakannya sangat pelan tetapi kemudian gerakanya perlahan-lahan menjadi sangat dinamis mengikuti suara gamelan yang dimainkan. Gamelan untuk mengiringi jatilan ini cukup sederhana, hanya terdiri dari drum, kendang, kenong, gong, dan slompret, yaitu seruling dengan bunyi melengking. Lagu-lagu yang dibawakan dalam mengiringi tarian, biasanya berisikan himbauan agar manusia senantiasa melakukan perbuatan baik dan selalu ingat pada Sang Pencipta, namun ada juga yang menyanyikan lagu-lagu lain. Setelah sekian lama, para penari kerasukan roh halus sehingga hampir tidak sadar dengan apa yang mereka lakukan, mereka melakukan gerakan-gerakan yang sangat dinamis mengikuti rancaknya suara gamelan yang dimainkan.
Di samping para penari dan para pemain gamelan, dalam pagelaran jatilan pasti ada pawang roh yaitu orang yang bisa “mengendalikan”roh-roh halus yang merasuki para penari. Pawang dalam setiap pertunjukan jatilan ini adalah orang yang paling penting karena berperan sebagai pengendali sekaligus pengatur lancarnya pertunjukan dan menjamin keselamatan para pemainnya. Tugas lain dari pawang adalah menyadarkan atau mengeluarkan roh halus yang merasuki penari jika dirasa sudah cukup lama atau roh yang merasukinya telah menjadi sulit untuk dikendalikan.
Selain melakukan gerakan-gerakan yang sangat dinamis mengikuti suara gamelan pengiring, para penari itu juga melakukan atraksi-atraksi berbahaya yang tidak dapat dinalar oleh akal sehat. Di antaranya adalah mereka dapat dengan mudah memakan benda-benda tajam seperti silet, pecahan kaca, menyayat lengan dengan golok bahkan lampu tanpa terluka atau merasakan sakit. Atraksi ini dipercaya merefleksikan kekuatan supranatural yang pada jaman dahulu berkembang di lingkungan kerajaan Jawa, dan merupakan aspek nonmiliter yang dipergunakan untuk melawan pasukan Belanda.
Selain mengandung unsur hiburan dan religi, kesenian tradisional jatilan ini seringkali juga mengandung unsur ritual karena sebelum pagelaran dimulai, biasanya seorang pawang atau dukun melakukan suatu ritual yang intinya memohon ijin pada yang menguasai tempat tersebut yang biasanya ditempat terbuka supaya tidak menggangu jalannya pagelaran dan demi keselamatan para penarinya.
Pagelaran ini seperti pagelaran seni yang lainnya yang umumnya mempunyai suatu alur cerita. Jadi biasanya jatilan ini membawakan sebuah cerita yang disampaikan dalam bentuk tarian. Saat ini tidak banyak orang yang melihat pertunjukan seni dari sisi pakem bentuk kesenian tersebut melainkan dari sisi hiburannya, yang mereka lihat dan lebih mereka senangi adalah bagian dimana para pemain jathilan ini seperti kerasukan dan melakukan atraksi-atraksi berbahaya. Jadi masyarakat melihat Jathilan sebagai sebuah pertunjukan tempat pemain kerasukan. Bukan sebagai pertunjukan yang ingin bercerita tentang suatu kisah.
Kesenian jatilan yang dipertunjukan pada upacara adat Mbah Bergas diawali dengan kesenian warok-warokan, yaitu suatu bentuk kesenian yang berjudul Suminten Edan”. Lakon ini bercerita tentang Suromenggolo yang mempunyai anak bernama Cempluk. Suromenggolo mempunyai saudara seperguruan yang bernama Surobangsat. Surobangsat dan Suromenggolo telah lama tidak berjumpa sehingga ia mengunjungi Suromenggolo. Surobangsat mempunyai anak yang bernama Gentho. Surobangsat bermaksud menjodohkan Gentho dengan cempluk. Namun Suromenggolo tidak setuju. Kemudian terjadilah pertarungan antara keduanya. Surobangsat kalah setelah Suromenggolo mengeluarkan aji-aji pamungkas yang berupa kolor.
Setelah pertunjukan warok-warokan selesai, dilanjutkan dengan pertunjukan tarian oleh pasukan buto yang berjumlah sepuluh orang penari. Tarian ini sebagai kreasi atau sebagai perkembangan dari pertunjukkan jatilan untuk lebih memeriahkan pertunjukan jatilan dan menarik perhatian warga untuk menyaksikan. Gerakan-gerakan tarian ini sangat dinamis dan enerjik, gerakan yang serempak para penari membuat para penonton terpesona.
Aksesoris yang dipakai para penari antara lain gelang kaki, gelang tangan, dan topeng buto yang berwujud hewan-hewan seperti harimau, domba, dan singa. Gerakan yang sangat cepat dan lincah dari para penari membuat gelang kaki yang mereka pakai menimbulkan irama yang rancak.
Setelah pertunjukan tarian buto selesai kemudian dilanjutkan tarian jatilan. Jumlah penari jatilan ada sepuluh orang. Aksesoris yang digunakan antara lain gelang tangan, gelang kaki, ikat lengan, kalung (kace), mahkota (kupluk Panji), dan keris. Makna dari busana dan aksesoris yang digunakan adalah meniru tokoh Panji Asmarabangun, yaitu putra dari kerajaan Jenggala Manik. Dalam pertunjukan jatilan ini juga ada tiga pawang yang bertugas untuk mengatur, menjaga dan menjamin lancarnya pertunjukan, pawang-pawang ini juga bertugas untuk menyadarkan para penari yang kerasukan.
Dalam pertunjukan jatilan juga disediakan beberapa jenis sesaji antara lain pisang raja satu tangkep, jajanan pasar yang berupa makanan-makanan tradisional, tumpeng robyong yaitu tumpeng robyong yang dihias dengan kubis, dawet, beraneka macam kembang, dupa Cina dan menyan, ingkung klubuk (ayam hidup) yang digunakan sebagai sarana pemanggilan makhluk halus dan lain-lain.
Jatilan yang ditampilkan dalam upacara adat Mbah Bergas merupakan sajian dari Paguyuban Kesenian Kuda Lumping Putra Manunggal. Paguyuban ini didirikan sekitar pada tahun 1992. Para penari jatilan berserta penabuh gamelan kurang lebih berjumlah empat puluh orang. Mereka berlatih setiap satu bulan sekali pada pertengahan bulan (biasanya pada malam minggu). Cerita yang disajikan adalah mengadopsi dari Jatilan klasik, yaitu tentang cerita tokoh Kresna. Sedangkan pada warok-warokan selain menampilkan cerita “Suminten Edan” juga mengambil cerita dari babad-babad Jawa, antara lain perang Prabu Baka dengan para Buto.






Macapat (Puisi lama)

Geguritan kang tinulis miturut “metrum” tartamtu. Saben “metrum” duwé aturan dhéwé ing babagan:
a. Guru gatra: Wilangan gatra/larik saben pada;
b. Guru wilangan: Wilangan wanda saben gatra;
c. Guru lagu: Tibané swara wanda pungkasan ing saben gatra.
Ing kasusastran Jawa, ana sawatara “metrum” kang wis umum dicakaké. Kajaba aturan ing nduwur, saben jinis “metrum” uga duwé lagu dhéwé. Mula “metrum” kuwi uga kasebut tembang utawa sekar macapat. Tembung Macapat dhéwé uga bisa duwé teges cara maca geguritan sarana katembangaké. Sekar macapat kang ana ing sastra Jawa yakuwi:
1. Sekar Macapat Alit/Asli:
  1. Mijil
  2. Sinom
  3. Dandanggula
  4. Kinanthi
  5. Asmarandana
  6. Durma
  7. Pangkur
  8. Maskumambang
  9. Pucung
2. Sekar Macapat Tengahan:
  1. Jurudemung
  2. Wirangrong
  3. Balabak
  4. Gambuh
  5. Megatruh utawa Dhudhukwuluh
3. Sekar Macapat Ageng:    – Girisa
Sekar macapat uga kacakaké ing panulisané serat-serat Jawa, umpamané Serat Wédatama, Serat Sabdajati, lan Serat Wulangrèh. Pérangan seratan kang tinulis kanti sekar macapat tartamtu, kasebut pupuh. Tuladhané: Serat Wédatama Pupuh Sinom: Serat Wédatama Pupuh Megatruh, lsp. Pupuh kadidéné Bab. Ing pérangané buku.
Dandanggula
Éling-éling pra kadang dèn éling (10/i)
Uripira ing ndonya tan lama (10/a)
Bebasan mung mampir ngombé (8/e)
Cinecep nulya wangsul (7/u)
Mring asalé sangkané nguni (9/i)
Begja kang wus pana (7/a)
Sangkan paranipun (6/u)
Dedalan kang dèn ambah (8/a)
Mrih rahayu lumampah margi utami (12/i)
Sejatining kasidan (7/a)
Sinom
Pangéran kang sipat murah (8/a)
Njurungi kajating dasih (8/i)
Ingkang temen tinemenan (8/a)
Pan iku ujaring dalil (8/i)
Nyatané ana ugi (7/i)
Iya Kiyageng ing Tarub (8/u)
Wiwitané nenedha (7/a)
Tan pedhot tumekèng siwi (8/i)
Wayah buyut canggah warèngé kang tampa (12/a)
Kinanthi:
Padha gulangen ing kalbu (8/u)
Ing samita amrih lantip (8/i)
Aja pijer mangan néndra (8/a)
Kaprawiran dèn kaèsthi (8/i)
Pesunen sariranira (8/a)
Sudanen dhahar lan guling (8/i)
Asmarandana
Anjasmara ari mami (8/a)
Masmirah kulaka warta (8/a)
Anèng kuta Probolinggo (8/o)
Prang tanding lan Wurubisma (8/a)
Kariya slamet wong ayu (8/u)
Pun kakang pamit palastra (8/a)
Megatruh:
Sigra milir sang gèthèk sinanggga bajul (12/u)
Kawan dasa kang njagani (8/i)
Ing ngajeng miwah ing pungkur (8/u)
Sinangga ing kanan kèring (8/i)
Sang gèthèk lampahnya alon (8/o)
Wirangrong:
Tan pantes akèh ngawruhi (8.i)
Mulané lamun miraos (8/o)
Dipun ngarah-arah ywa kabanjur (10/u)
Yèn uwis kawijil (6/i)
Tan kena tinututan (7/a)
Mulané dipun prayitna (8/a)
GEGURITAN

Ingsun amimitya muji,
anasbat namani alah,
ingkang amurah ing dhunya rko,
ingkang asih ing-ahèrat,
kang pinuji tan pegat,
kang rumaksèng ãlam-iku,
ingkang asih I Nabi Muhammad. (Pupuh 1)
Yan sampun amuji Hyang Widhi,
amuji Nabi Muhammad,miwah lan kawula wargane,
ingkang sinunghaken ika,ingkang sinunghaken kanugrahan,
lamin ingsung tumuruh,
nora pegat amujyang suksma (Pupuh 2)